Minggu, 08 April 2018

JANCOK, KRISIS PANGAN DUNIA 2050



Krisis pangan dan krisis moral menjadi perbincangan hangat pada masa kini, di diskusikan di angkringan-angkringan oleh para pemikir bangsa di kelas bawah hingga kelas atas. Mungkin sebuah lelucon jika sebuah sistem dibangun salah, tapi jika kita menyalahkan sebuah sistem tidak akan berkembang dan maju kedepan. Krisis pangan itu entah disebabkan oleh siapa, mungkin dajjal yang menguji untuk bergabung dalam sebuah kemewahan. Ketika sekarang ini teknologi berkembang begitu pesat dan pertanian mulai diacuhkan.
Pemuda desa meninggalkan ladang garapan peninggalan nenek moyang dan bekerja di ladang beton kota metropolitan. Mereka tergiur oleh gaji yang sangat besar, namun menurut kajian, upah mereka malah minus. Lebih besar pasak daripada tiang, itulah ungakapan yang tepat. Gaji UMR yang tidak selaras dengan tingginya kebutuhan di kota metropolitan. Mahasiswa turun ke jalan meneriakkan untuk turunnya pemimpin yang sedang berada dalam jabatan, namun mereka sendiri tidak turun langsung untuk rakyat. Birokrasi kampus seakan membatasi mahasiswa untuk berekspresi, LKTI yang hanya tulisan tidak di terapkan di masyarakat seperti membuang-buang waktu saja. Eksekutif mahasiswa tidak menyelenggarakan sebuah event yang membangun keintelektualan, pemecahan rekor muri tanpa arti, bahkan rela menyiksa mahasiswa baru untuk meningkatkan eksistensi dan hasrat untuk membesarkan nama eksekutif mahasiswa.
Para sarjana pertanian, Master Pertanian, hingga profesor pertanian lupa kembali ke ladangnya untuk mengabdi untuk bangsa dan negaranya. Memilih duduk dan bersembunyi di meja kekuasaannya. Pura-pura tidak tahu tentang harga pangan yang semakin melonjak, krisis air dimana-mana, dan kembali lagi ia menyalahkan pemerintah. Solusi yang harus diambil pemerintah, harus mereka teriakkan tepat di telinga sang penguasa. Kita tidak lagi melihat petani membawa pulang ikan dari hasil tangkapan di sawah maupun sungai.
Ini karena orang pertanian menutup mata tentang pembangunan ribuan pabrik tekstil itu, yang mencemari tanah persawahan dengan logam berat hingga kehidupan dibawahnya mati total. Pangan mengandung logam berat, beras mengandung logam berat, semangka mengandung logam berat, pestisida dimana-mana. Air bau tidak enak, apakah ini benar tanda krisis pangan akan terjadi 2050? Ketika bangsa-bangsa maju dan berkembang kesulitan mengendalikan laju konsumsi rakyatnya. Impor besar-besaran?
Kemana lagi kita mencari orang pertanian? Apakah sawah sudah tidak trend lagi? Jancok, kemana pemuda kita yang dilahirkan dari darah ibu pertiwi? Ini tidak lagi pembahasan tentang ekstrim narasi, ini tidak lagi pembahasan tentang golongan muslim yang bertengkar soal imam, ini tidak lagi tentang golongan yang memfitnah penguasa. Ini tentang pertanian, yang mencakup hasil bumi apapun di dalamnya. Krisis air, ngeri ketika air yang dinikmati rakyat sudah diperjual belikan oleh orang asing. Kemana pemuda kita? Yang meneriakkan tentang rakyat? Aku ingin memulai di hari ini, tanpa penjajah, tanpa antek-antek yahudi dan china. Kemana petani muda kita?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar